Text
Goodbye, things : hidup minimalis ala orang Jepang
Fumio Sasaki bukan ahli dalam hal minimalisme; ia hanya pria biasa yang mudah tertekan di tempat kerja, tidak percaya diri, dan terus menerus membandingkan diri dengan orang lain-sampai suatu hari, ia memutuskan untuk mengubah hidupnya dengan mengurangi barang yang ia miliki.
Manfaat luar biasa langsung ia rasakan: tanoa semua "barangnya", Sasaki akhirnya merasakan kebebasan sejati, kedamaian pikiran, dan penghargaan terhadap momen saat ini. Sasaki memahami minimalisme sebagai "gaya hidup yang berarti kita mengurangi jumlah barang yang kita miliki sampai tingkat paling minimum." Di bukunya ia menjelaskan, di masa lalu orang Jepang hidup minimalis.
Sebetulnya, gaya hidup minimalis tak hanya pernah tumbuh di Jepang. Di berbagai masrayakat pra-industrialisasi dan konsumerisme, hidup minimalis dalam arti pola hidup sederhana jamak dilakukan. Di Jepang sendiri, minimalisme mulai banyak dibicarakan kembali sejak 2010. Sekitar tahun itu konsep "danshari" yakni seni membereskan, membuang, dan berpisah dari barang-barang jadi pembicaraan publik.
Lewat berbagai iklan di media massa kita dibuat percaya semakin kita memiliki banyak barang, maka kita layak disebut orang kaya. Menjadi kaya, yang berarti punya banyak barang, jadi ukuran kebahagiaan. Padahal kebahagiaan sebuah konsep semu. Apa yang membuat seseorang bahagia berbeda-beda. Fumio Sasaki justru merasa bahagia setelah membuang banyak barang-barangnya.
Tidak tersedia versi lain